PERTANIAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
Tanggapan
Terhadap Tantangan Globalisasi
Oleh :
Soenarto
Notosoedarmo
Arus
globalisasi sudah tidak dapat ditahan lagi untuk memasuki segala sudut
kehidupan, baik secara lambat atau cepat. Tampaknya kerusakan lingkungan global
pun berimbas ke lingkungan hidup kita sehari-hari. Bagaimanapun juga kita di
bidang pertanian berusaha untuk sadar akan ancaman tsb, hingga dampak negatif
dari globalisasi dikurangi. Lingkungan petani tidak lepas dari pengaruh
globalisasi, begitu pula produk yang dihasilkan dan dipasarkan petani. Petani
perlu bertindak hati-hati agar produknya diterima pasar secara kontinyu.
Memanfaatkan
Keanekaragaman Hayati
Salah satu karunia Tuhan adalah kayanya
tanah air akan keanekaragaman hayati dalam arti luas, bukan hanya flora dan
fauna. Istimewanya lagi adalah kekayaan tsb, tidak menimbulkan kebosanan, tidak
seperti karya manusia. Jadi, penanaman monokultur (tanaman sejenis) dalam area
yang sangat luas, secara tidak langsung menyia-nyiakan kekayaaan yang ada.
Usaha bertani model pekarangan adalah contoh bertani yaang berorientasi
keanekaragaman. Penghasilan petani ini relatif kontinyu, berkenaan dengan musim
panen yang berbeda-beda, berbagai kebutuhan rumah tangga, seperti sayuran,
buah, jamu, bahan bangunan, tertopang oleh pekarangannya. Dalam usaha membangun
pekarangan, seleksi jenis yang ditanam masih dapat dioptimalkan. Optimalisasi
penggunaan jenis tanaman tidak selalu berarti semua jenis yang ditanam bernilai
ekonomis. Deretan tanaman ekonomis mungkin perlu diselingi deretan tanaman yang
berperan sebagai pupuk, pengusir hama, penjaga kelembaban, dsb. Kadangkala
perpaduannya begitu erat agar tanaman utamanya tumbuh baik, misalnya cendana
yang perlu ditemani lamtoro atau sengon. Dengan kekayaan jenis tumbuhan yang
tinggi, ada peluang untuk memilih cukup bebas. Akhirnya, berbagai fungsi
seperti ekonomis dan ekologis tertopang.
Bertani dengan mengusahakan lahan yang
beranekaragam flora, menjadi seragam tanamannya, tidak akan kontinyu
keuntungannya. Keuntungan yang diperoleh hanya berjangka pendek, kemudian
kerusakan oleh hama dan penyakit akan mengancam. Keuntungan yang berupa
efisiensi di berbagai bidang dalam usaha monokultur merupakan ancaman
globalisasi yang perlu dicermati. Perilaku petani untuk menanam jenis yang
sama, misalnya harga di pasaran tinggi, sering dilakukan. Selain resiko harga
rendah karena produk di pasar melimpah, tanaman monokultur ini kena resiko
serangan hama dan penyakit secara total. Bukankah keadaan ini kemudian
menguntungkan pihak lain, misalnya produsen pestisida ?
Karunia keanekaragaman tsb, diatas
sebenarnya juga membuka peluang sumber-sumber sifat-sifat unggul di banyak
bidang, seperti ketahanan terhadap hama penyakit, kaya vitamin, warna bunga,
masa reproduksi. Keanakaragaman tsb, juga berarti kekayaan sifat (plasma
nutfah) yang ada pada setiap jenis tumbuhan. Berdasar kekayaan inilah dengan
pengetahuan bioteknologi (rekayasa genetika) dapat diramu tumbuhan yang
memiliki kumpulan sifat unggul yang diinginkan. Kegiatan ini sudah manpu
dilakukan oleh pakar Indonesia. Berkaitan dengan penganekaragaman, petani
mempunyai andil besar, baik pengembangan maupun pelestariannya.
Sebenarnya upaya penganekaragaman
tanaman pangan misalnya telah dilakukan oleh nenek moyang kita. Dengan demikian
tidak ada ketergantungan pangan pada padi. Berbagai macam umbi-umbian dan
biji-bijian perlu diusahakan lagi oleh petani, di samping menanamkan lagi
budaya makan non-beras. Upaya melestarikan jenis sebenarnya tidak selalu yang
terkait dengan adanya manfaat secara langsung. Beberapa jenis mungkin
manfaatnya baru diketahui secara besar-besaran beberapa tahun kemudian.
Misalnya tanaman pace Morinda citrifolia, dahulu tidak diperhatikan,
tetapi kini punya nilai ekonomis tinggi. Tampaknya semua ciptaan Tuhan perlu
dilestarikan, sementara upaya pemanfaatannya perlu terus dicari.
Bertani ramah
lingkungan
Akhir-akhir
ini standar ramah lingkungan mulai dilaksanakan. Produk-produk pertanian yang
sampai ke pasar internasional perlu mengantongi keterangan tidak merusak
lingkungan, selain tidak merugika konsumennya. Oleh karena itu, petani dalam
budidaya tanamannya tidak dapat gegabah asal produknya melimpah ruah.
Seperti kita ketahui, langit ciptaan
Tuhan adalah pelindung semua mahluk. Tetapi dalam perjalanan waktu hidup umat
manusia kini sudah tidak senyaman dahulu. Efek gas rumah kaca dan suhu bumi
semakin panas serta iklim yang sudah sulit dimengerti menjadi ancaman global,
yang tampaknya menjadi semakin nyata dan serangan penyakit, atau musim hujan
dan kemarau yang tidak lagi dapat diketahui. Akhirnya, kegagalan panen
berkepanjangan ada di hadapan mereka.
Sebagai petani perorangan tentu tidak
dapat mengurangi secara berarti timbulnya pengaruh itu, tetapi setidak-tidaknya
ada kesadaran untuk tidak bertindak yang semakin merusak. Pemupukan tidak hanya
mengejar pertumbuhan tanaman yang cepat serta produk berlebihan, tetapi
pemupukan yang berimbang dan jumlah secukupnya akan baik bagi tanaman,
sekaligus keadaan tanah. Apabila tanah rusak, beaya pengolahan nantinya semakin
mahal dan timbul akibat jelek pada tanaman. Begitu pula pemakaian obat yang
berlebihan, selain bernilai mahal juga dapat mengakibatkan hama jadi kebal,
hewan bukan sasaran sirna, bahkan pemangsa hama mati. Langkah-langkah tsb,
merupakan pemberian peluang kepada lingkungan biotik dan abiotik untuk tetap
berada di samping manusia.
Prinsip pengolahan lahan dan pemanfaatan
air hendaknya keadaan setempat. Tanah digarap dengan mengingat ketahanannya
terhadap faktor luar lainnya, misal curah hujan yang tinggi. Penggarapannya
tidak hanya bertujuan agar panen berhasil baik, tetapi pemanfaatan tanah
kentang yang tidak memperhatikan pembuatan teras. Bertanam kentang di dataran
rendah tampaknya perlu dicoba, begitu pula untuk tanaman-tanaman sayuran
semusim lainnya. Bertanam tanaman keras juga ikut menjaga cadangan air,
sekaligus mencegah kerusakan tanah.
Tanpa disadari, kegiatan petani dengan
bertanam sudah memberi sumbangan oksigen yang penting bagi kehidupan banyak
mahluk, terutama manusia. Oleh karena itu, tindakan membiarkan lahan terbuka
dari vegetasi, adalah tercela. Naungan vegetasinya masih dapat dimanfaatkan
untuk tanaman yang cocok di keteduhan. Hasilnya, tutupan vegetasi
bertingkat-tingkat (stratifikasi) dari tanaman yang punya potensi macam-macam.
Perilaku berorientasi
lingkungan
Memperoleh
hasil usaha yang maksimal adalah tujuan dari setiap petani dalam mengelola
tanah dan tanamannya. Tetapi perlu diingat bahwa usaha pertanian merupakan
kegiatan hidup yang sangat erat dengan lingkungan alam. Sebab, dalam sejarah
perkembangannya manusia mulai memasuki interaksi biotik-biotik yang terjadi di
alam bebas, kemudian petani memanipulasinya sejauh tidak mengganggu alam.
Keadaan ini ternyata telah berhasil menopang manusia hidup sampai saat ini.
Akhir-akhir ini kebutuhan hasil pertanian semakin meluas pemanfaatannya,
sementara kemampuan pengetahuan untuk menggali potensi yang dimiliki tanaman
dan tanah belum selesai, sehingga terjadi berbagai ketimpangan.
Di tengah situasi seperti itu petani
berusaha memenuhi tuntutan tsb, dengan cara untuk bertindak berlebihan. Pupuk,
pertisida, pengolahan tanah dilakukan dengan dosis tinggi, frekwensi pemakaian
yang besar, tanpa mengetahui secara mendalam akibat buruknya di kemudian hari.
Pupuk dan pestisida dicampur melewati takaran, dengan pengertian makin banyak
makin baik berhasil, hanyalah berjangka pendek. Musim-musim berikutnya berbagai
bencana mulai berdatangan, seperti gagal panen, hama mengamuk, dan tanah sulit
diolah.
Rupanya
perlu diingat petani, bahwa lingkungan pertanian, terutama tanaman, tanah, dan
air mempunyai keterbatasan untuk menopang hasil yang akan dipanen. Oleh karena
itu, mencapai hasil optimum harus dirasa cukup. Seperti prinsip pembangunan
berkelanjutan, batas optimum hasil inilah yang harus ditingkatkan, bukannya
tujuan maksimal. Dalam pada keadaan optimum berbagai faktor yang mendukung
diperoleh produk berada dalam keadaan seimbang berkelanjutan.
Dalam era globalisasi, berbagai
keinginan atau pengaruh dari luar sampai kepada petani biasanya mengajak untuk
meningkatkan produk pertanian baik kualitas maupun kuantitas.Bibit-bibit hasil
rekayasa genetika sudah banyak diintroduksi ke Indonesia. Apakah bibit-bibit
itu sudah diuji kelayakannya ditanam di lokasi tertentu bukan lagi kewenangan
petani. Petani harus mengelola tanaman dengan mengikuti satu paket cara yang
tidak dapat dirubah-rubah semau sendiri. Ini mengingatkan kita akan masuknya
program Revolusi Hijau di tahun 60-an, dengan segala dampak positif negatifnya.
Karena bibit rekayasa genetika adalah karya manusia yang sangat menyentuh
faktor yang diturunkan (gen), maka petani adalah pelaku terdepan yang
menghadapi dampaknya. Kiranya perlu diwaspadai bahwa sarana dan prasarana dari
luar sering mempunyai muatan politik, ekonomi dan sebagainya yang berkesinambungan.
Misalnya masuk bibit jenis baru dan unggul berbuntut dengan tersingkir, bahkan
punahnya varitas-varitas tanaman lokal.
Sikap menghadapi bahan yang menjadi
pencemar lingkungan hampir tidak mendapat perhatian. Pada era globalisasi ini
plastik dan berbagai bahan kimia sintetis yang asing bagi lingkungan tampaknya
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Bahan tersebut ada yang sangat
sulit hancur di alam, sehingga kalau masuk ke tanah malahan menghambat
pertumbuhan akar dan kehidupan mahluk hidup dalam tanah. Kalau bahan ini
dibakar, maka akan berubah bentuk dan mengeluarkan bau/gas yang mudah
menimbulkan kanker (sifat karsinogenik). Adapun bahan-bahan kimia pestisida
yang tidak mudah terurai di alam akan mengganggu kehidupan dalam tanah. Kalau
terserap ke jaringan tanaman, maka ada resiko masuk ke bagian tanaman yang
dikonsumsi. Dalam pasar global kandungan bahan tersebut yang melewati batas
ketentuan akan tidak laku. Di sini konsumen telah sadar akan bahaya yang akan
ditimbulkan. Perilaku hati-hati dengan bahan-bahan kimia seperti tersebut di
atas perlu dihayati. Petani harus sadar bahwa tubuhnya akan sering
terpapar/terkontak baik di kulit ataupun saluran pernafasan. Ini berarti
petanilah yang paling rawan terhadap paparan bahan-bahan beracun. Seringkali
akibat keracunan, misalnya logam berat yang terdapat dalam pestisida, tidak
segera diketahui. Selain berhati-hati, sikap menggunakan bahan-bahan di atas
cukup seperlunya. Hendaknya juga menjadi pertimbangan moral, kalau pemakaian
bahan beracun dengan dosis tidak diketahui oleh konsumen dapat menimbulkan
penyakit diwaktu yad. Apakah petani masih bersyukur sementara pemerintah belum
menentukan standar kandungan racun yang terdapat pada sayuran di pasar ?
Judul : MEMBUAT DEKOMPOSER
Tujuan : Peserta dapat memdapatkan mikroorganisme pengurai untuk
membuat kompos.
Bahan :
Air bersih 10 liter, tetes tebu 1 kg, terasi
¼ kg , susu segar 1 liter, buah-buahan (nanas, papaya, dll) 2 buah, bekatul ½
kg, Rumen sapi 2-4 genggam
Alat :
Ember, Literan, Blender, Saringan, Kompor,
Termometer, Panci
Cara Pembuatan
- Buah-buahan dicuci, dikupas dan dihancurkan.
- Terasi dihancurkan ditambah buah-buahan yang sudah dihancurkan,
tetes tebu, bekatul dan air, diaduk sampai rata, kemudian direbus sampai
mendidih.
- Didinginkan sampai suhu ± 70oC, susu dan rumen
dimasukan dan diaduk sampai rata.
- Ditutup rapat dan diperam selama ± 4 hari
- Disaring dan dikemas untuk dan digunakan pembuatan kompos, bokhasi
, dll.
Judul : MEMBUAT KOMPOS SUPER
Tujuan : Peserta dapat membuat pupuk organik berkualitas tinggi, bebas
gulma dan penyebab hama dan penyakit
Bahan
Kotoran sapi, kapur, serbuk gergaji, Abu, Air
Alat
Garpu, gelas ukur, sekop, termometer, Bagor /
goni, gembor
Cara pembuatan :
1.
Menyusun
bahan-bahan sebagai berikut :
Kapur
|
Abu
|
Serbuk gergaji
|
Dekomposer
|
Kotoran sapi
|
Kapur
|
Abu
|
Serbuk gergaji
|
Dekomposer
|
Kotoran sapi
|
2.
Mengaduk
/ mencampur dengan cara memotong vertikal dan ditumpuk sampai ketinggian 1,5 m
3.
Setiap
minggu dibalik sampai 5-6 kali
Judul : MEMBUAT FERMENTASI
URINE SAPI (FERINSA)
Tujuan : Peserta dapat memanfaatkan urine sapi untuk pupuk, pestisida,
dan perangsang tumbuh tanaman.
Bahan
–
Urine
sapi 10 ltr
–
Tetes
tebu 1 liter
–
Dekomposer
250 ml
–
Trasi
150 gr
–
Laos 150
gr
–
Kunyit
150 gr
–
Temu
ireng 150 gr
–
Jahe 150
gr
–
Kencur
150 gr
–
Broto
wali 150 gr
- Alat
–
Ember - Saringan
–
Blender - Timbangan
–
Pengaduk
- Literan
Cara pembuatan :
1.
Empon-empon
dan trasi ditumbuk sampai halus kemudian dimasukkan ember .
2.
Dimasukkan
tetes tebu, dikomposer, dan urine sapi
3.
Ditutup
dan diperam selama 21 hari
4.
Setiap 3
hari 1x diaduk
Aplikasi
1 liter fermentasi ini dicampur dengan 40 liter air, disemprotkan pada
tanaman mulai umur 1 minggu selanjutnya diulang 1 minggu sekali
Judul : MEMBUAT PESTISIDA
ORGANIK
Tujuan : Peserta dapat memanfaatkan tanaman yang ada disekitarnya untuk
mengendalikan HPT.
Bahan
Urine sapi 10 liter, Limbah daun gamal, daun
lamtoro masing-masing 3 kg, dekomposer 250 ml, tetes tebu 250 ml, terasi 150 gr
Alat
–
Ember - Literan
–
Pengaduk - Saringan
–
Timbangan
Cara pembuatan :
1.
Membuat
ekstrak daun gamal dan lamtoro
2.
Masukkan
ke ember, ditambah urine sapi, tetes tebu, terasi, dikomposer, diaduk sampai
rata
3.
Ditutup
dan diperam selama 21 hari
4.
Tiap
minggu dibuka dan diaduk